Selasa, 19 April 2011

UN hanya sebagai barometer

Siapa yang tak ingin dipuji karena berprestasi. Siapa juga yang tak ingin dinilai kualitasnya bagus. Dua hal tersebut merupakan sesuatu yang membanggakan. Namun bagaimana jika keduanya berada pada dua sisi yang saling bertolak belakang. Dua hal yang saling bertolak belakang ini menyatu dalam dunia pendidikan. Di satu sisi, pemerintah membuat aturan bahwa agar seseorang bisa menyelesaikan satu tingkat pendidikan ia harus memenuhi standar kemampuan minimal. Standar minimal ini diukur dengan suatu sistem yang bernama Ujian Nasional (UN).
Di sisi lain yang terjadi di lapangan berbeda dengan harapan pemerintah, masyarakat banyak mempermasalahkan UN. Masyarakat berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 58 ayat 1 dan pasal 59 ayat 1). Sebagian berpendapat bahwa UAN berdampak negatif terhadap pembelajaran di sekolah, menghamburkan biaya, dan hanya mengukur aspek kognitif. Argumentasi lain adalah kondisi mutu sekolah yang sangat beragam sehingga tidak adil jika harus diukur dengan menggunakan ukuran (standar) yang sama. Sehingga muncul kekhawatiran tentang kemungkinan banyaknya siswa yang tidak lulus.
Meskipun tahun ini, pelaksanaan UN sedikit berbeda, sesuai Permendiknas No 2 Tahun 2011 tentang UN, kelulusan siswa ditentukan dari nilai sekolah (40 %) dan nilai UN (60 %). Khusus untuk nilai sekolah ditentukan dari nilai rapor (40 %) dan nilai ujian akhir sekolah/UAS (60 %).
Apapun itu bentuk formulasi dan metode UN, tetap saja jadi momok bagi siswa, bahkan bagi guru. Beban yang dipikul siswa kelas tiga ini sangat berat, mereka harus belajar dengan sangat keras. Ada yang menambah jam belajar, mengikuti les tambahan, bahkan kursus private. Ini bagi mereka yang mampu membayar. Bagaimana dengan yang tidak mampu? Jadi jangan salahkan mereka kalau kemudian mereka menempuh cara-cara yang tidak fair dengan melakukan kecurangan dalam UN.
Untuk menghindari hal tersebut, menurut pendapat saya sebaiknya UN tidak lagi andil menentukan kelulusan, karena yang berhak menentukan lulus tidaknya seorang siswa itu adalah pihak sekolahnya masing-masing. Bagaimanapun, pihak sekolah yang lebih mengetahui kemampuan atau perkembangan seorang siswa dalam belajar. UN seharusnya hanya dijadikan tolok ukur untuk mengetahui tingkat kemajuan pendidikan di suatu sekolah dan daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar